PERJUANGAN EMI

 

AKU

 Aku Emi, anak pertama dari dua bersaudara Ema dan Emi. rumah mungil dan sederhana tempat paling damai bagiku, Rumahku.  Aku duduk di sekolah dasar  madrasah, pelosok desa.  Aku sudah melewati masa SMP ( Sekolah Menengah Pertama ) . Aku semakin dewasa, tapi tak pernah terpikir bahwa aku akan menjadi penanggung keluarga karena anak pertama, suatu saat nanti.

 Masa dimana labilnya perasaan dan naiknya darah muda, SMP. perkenalkan nama ayahku adalah Jojo dan ibuku Ani.  Kami tinggal di dekat jalan raya penghubung desa ke desa lainnya. Setiap hari mendengarkan berisik sepeda motor. Walaupun sudah terbiasa mendengar bisingnya kendaraan,  tetap saja mengganggu, waktu istirahat.

 Tinggiku 168 cm badan kurus dan muka tampang pas – pas an, kata orang sih begitu. kulit membalut ditulang belulang  menghiasi sekujur tubuhku, mata yang sedikit sipit, bulu kaki yang lebat, Saking lebatnya bulu – bulu kaki yang mengkilap hitam. orang sering menyapaku kaki brewok. Rambut pendek adalah gaya hidupku, menurutku terkesan terlihat rapi.

 Aku dibesarkan dirumah sederhana dan ramah lingkungan, terlebih keramahan penduduk desa, tapi julidnya orang – orang desa lebih tinggi dibandingkan orang – orang yg tinggal di perkotaan.  Orang mengghibah  kerap kudengar, telinga kanan dan kiri sudah bosan mendengarkannya, baik secara sengaja mendengarkan pun tidak tersengaja. “Katanya, biar asik dan seru  kalau lagi kumpul  bareng teman – teman,” ghibahin orang.

 Suatu hari, Aku duduk di pinggir pintu depan rumah , tempat biasa kumelihat sepeda motor lalu lalang yang   kulakukan setiap hari, sendiri. Terkecuali musim hujan, karena dingin. Kebisingan roda dua dan empat yang  lalu lalang  seakan menjadi alarm siang hari. Suara knalpot yang tak beraturan saling sahut menyahut di jalan raya.

 Aku bosan mendengar bisingnya kendaraan – kendaraan yang selalu melintasi jalan raya  depan rumahku. Namun aku juga sangat ingin mempunyai kendaraan, bisa bareng teman pergi ke mana saja yang  kita inginkan, Sayangnya aku tidak memiliki, kendaraan.

 Dulu, Pada hari minggu, Aku dan beny pergi jalan  pagi ke desa sebelah,  jaraknya sekitar 100 m, sangat dekat. Saat di perjalanan pulang, Aku dan Beny melihat orang bertabrakan di depan rumahku. Suara tabrakan sepeda motor membuat kami kaget, gendang telingaku berdenging – denging.

 Aku berlari menuju tempat kecelakaan yg  sudah dikerumuni banyak orang, Aku memiliki rasa takut melihat bekas luka – luka selepas tabrakan tadi, tapi tetap saja aku melihatnya, Dasar aku.  apalagi Beny, matanya melotot kegirangan. Untung saja luka orang yang bertabrakan tidak terlalu parah, tetap saja, bagiku sangat menakutkan.

 

 Jalan raya di depan rumah mempunyai banyak lubang – lubang kecil, jika tidak berhati – hati ekstra akan terjadi suatu yang tidak diinginkan. Sudah 12 tahun aku tinggal di dekat jalan raya ini tetap saja jalannya masih berlubang.

 Kejadian pada  hari minggu itu, masih terbayang di kepala. Motor yang melaju dari arah timur ke barat dengan sedikit kecepatan tinggi dan motor dari arah barat ke timur dengan kecepatan rendah, menurut penglihatannku dan orang – orang yang di lokasi saat itu. Meskipun luka mereka  tidak terlalu parah, motornya sedikit hancur dan membentuk pola – pola baru seperti stang motornya bengkok, badan bagian tengah motor sedikit remuk. Bahkan berbentuk T, stang motor.

 Orang yang menunggangi motor dari arah timur ke barat terpental lumayan keras ke pinggir jalan raya,  Aneh, kondisinya lebih baik dari pada orang yang melaju dari barat ke timur. Itu yang aku lihat, di depan mata kepalaku sendiri. Sejak kejadian itu, pihak desa mulai mengurus perbaikan jalan raya yang terdapat banyak lubang. Satu minggu yang lalu. “ bagus banget, aku bebas berlari”.

  Pada saat proses pengerjaan perbaikan jalan  raya depan rumah. Jalur menuju ke desa sebelah yang harus melewati jalan raya depan rumah di tutup total sampai jalannya sudah layak  untuk digunakan. Pengendara asing dilarang melintasi jalan tersebut terkecuali warga setempat, karena tidak ada jalan lain. Jika melanggar, mereka disuruh putar balik melewati desa sebelah, Jalan ini lebih efektif dan tidak sering terjadi kemacetan.

 Waktu itu badanku sedikit lelah, baru saja  pulang sekolah terlebih tadi di sekolah belajar  mata pelajaran sejarah dan matematika yang membuat otakku sedikit pusing. Suara bising alat – alat berat seperti bulldozer menggangu waktu istirahatku. Aku tidak bisa tidur, karena tidak ada kegiatan terpaksa kumelihat alat – alat berat itu memperbaiki jalanan yang sudah tidak layak pakai, jika itu di kota.

 Kontraktor dengan pakaian yang dipenuhi keringat memerintahkan anak buahnya dengan suara yang lantang, terdengar olehku, dengan gagahnya pemimpin kontraktor memerintah anak buahnya mengerjakan jalan raya. Dibawah terik matahari yang begitu menyengat tak menghambat pekerjaan jalan raya , Menurut informasi yang aku dengar, target penyelesainnya cuma satu minggu.

 Jalanan yang berlubang di banyak bagian kini sudah menjadi bentuk masa lalu, jalan yang baru nampak begitu mulus nan kokoh. Warna hitam yang melekat pada kerikil – kerikil menjadi satu kesatuan. Biasanya sedikit orang melintasi  melalui jalan raya ini, setelah menjadi bagus orang – orang banyak melintasinya. Selain efektif juga jalan yang tidak kalah dengan desa lainnya, mulus.

 Biasanya kemacetan terjadi di daerah daerah yang dekat dengan fasilitas umum, seperti sekolah, pasar, terminal bus, kereta api, persimpangan kereta api hingga lampu merah. Kini kemacetan terlihat di desaku pengendara motor yang biasanya lewat desa sebelah beralih ke jalur ini, “ katanya, daerah sebelah juga sedang di perbaiki “. Hingga membuat arus lalu lintas di arahakn menjadi satu arah yaitu jalan raya depan rumah.

 Jalan raya depan rumah, Aku menghirup asap lalu lalang motor yang mengeluarkan polusi membuatku sedikit tidak nyaman, udara desa sedikit berubah dari hari hari sebelumnya, sebelum jalan desa sebelah di perbaiki. Membuatku sedikit sesak untuk bernafas jika duduk di depan pintu rumah yang mengarah ke jalan raya. Udara segar desaku sedikit terkontaminasi selama dua minggu ini.

 Kian suara klakson motor bersahutan, membuat kebisingan baru yang tak sedap didengar di telinga. “ Kenapa klakson terus dibunyikan ? “.

 

MASA SEKOLAH

 Gerbang hitam sekolah madrasah Tsanawiyah negeri 01 janapria akan segera ditutup oleh satpam, kupercepat langkah kakiku hingga berlari. Cewek – cewek di depan gerbang, menatapku dengan mata kasihan yang terengah – engah kelelahan. Tiba – tiba dua orang anak datang setelahku, setelah gerbang di tutup. Tempat sekolah Formal dan tempat mengaji kitab, berbeda. Ponpes khusus mengaji sedangkan kalau formal kami mengikutinya di sekolah lain, Sekolah terdekat dari Ponpes.

“ Pak satpam, gimana lariku  menuju gerbang, hebat bukan ?” ( sapaku dengan nafas yang masih terengah – engah )

 “ Biasa saja, karena aku mendorong pintu dengan perlahan, seandainya dipercepat kamu pasti akan gagal masuk”

 “ Oh,  masa iya pak ?”

“iya”.

( Aku segera menuju kelas )

 Satpam sekolah namanya Toni, pembawaannya yang santai membuat kami kelas Delapan sering menyapanya, Begitu juga dengannya, menyapa kembali. Satpamnya baik dan ramah, Terkadang ngeselin kalau kami, kelas delapan. Bertanya dengan serius dijawabanya dengan candaan, bukan aku saja yang bilang begitu, semua kelas delapan. ( tutur mereka di kelas membahas satpam ).

 Gerbang sekolah ialah kenangan, untukku. Dulu, aku  sering menunggu jemputan dari persantren,  mobil pik up. Juga seorang cewek yang sering menunggu bersamaku, di depan gerbang sekolah yang ber- cat hitam pekat. Namanya Nova, sering kali kami menunggu jemputan selepas pulang sekolah, dia menunggu jemputan dari orang tuanya.

 Senin, Di bagian sudut ruangan kelas C, cicak – cicak berkerumunan layaknya menyaksikan     anak – anak  kelas delapan yang sedang belajar. “ Cicak kenapa suka di genteng yak”. ( ucapku dalam hati )

***  

 Taman sekolah, sebelum masuk kelas biasanya aku melihat - lihat keadaan sekitar, ditaman.  Suasana pagi itu cerah sekali, Gumpalan awan berbentuk domba menghiasi langit kala itu. Berlapiskan awan biru seperti warna di lautan. Aku merasa bahagia, bukan  karena suasana dan hari yang begitu cerah, tapi kenangan di taman.  kenangan ditampar guru karena ketahuan keluar kelas saat kosong mata pelajaran, gurunya tidak masuk kelas.

 Saat  pulang  sekolah, biasanya melewati taman sekolah.  letak kelasku setelah taman sekolah. Setiap  hari melalui dan tiap hari pun mengingat kejadian itu, ditampar guru. Taman sekolah menjadi saksi bisu aku sudah melakukan kesalahan, tidak mentaati tata tertib sekolah.

***

 SMA, Jam menunjukan pukul  12. 00 WIT.  sebentar lagi waktu zohor akan  tiba, suara radio – radio sudah berbunyi disekitaran sekolah, Sekolahku di kelilingi masjid – masjid. Angka jarum jam telah menunjukkan waktu pulang sekolah. Diselingi bunyi bel  sekolah sudah berbunyi, suaranya, “sangat  besar”.

 “ Bagas, loe bisa anterin aku pulang nggk, hari ini aku tidak ada jemputan, kita kan searah, bagaiamana gas ?”.

  Santai Brade…” ( sambil memukul tangannya yang kecil ke punggung saya ).

 

Sesampai  di depan rumah, ibuku memanggil, sedangkan aku masih menunggang motornya bagas.

“ Terimakasih, bagas.  Mampir dulu ?”.

“ Enggak, aku langsung pulang aja, mau istirahat”. 

“ oke, kalau begitu, hati – hati ya gas”.

“ oke, saya pergi dulu”.

( Aku lekas memasuki kamar )

“ Nak, sini dulu bentar ”.

“ iya, Ibu”.

 “ Betulin jahitan ibu dulu, kenapa kamu tidak mengajak temanmu masuk ?”.

 “ katanya capek, Ibu. lalu pulang”.

 “ Oalah, Dony,  teman kamu yang biasanya mengantarmu, kemana ?”.

“ Dony, ada kelas tambahan Ibu, ekstrakulikuler juga, mau nunggu males, kelamaan”.

“ Oh, macam mana belajarmu, tadi di sekolah,  berjalan lancar ?”.

“ Lancar, Ibu.”.

( Menjawab seluruh pertanyaan ibu sambil memperbaiki jahitan )

 Mendadak angin kencang terdengar dengan keras. Angin berkekuatan besar menyapu terbang debu – debu yang ada di samping jalan raya, depan rumah. Jendela yang terbuka  langsung kututup. Aku melihat debu – debu berterbangan membentuk pusaran, lewat pintu depan rumahku.

“ Nak, kamu kan sudah kelas Dua Aliyah, bagaimana kalau kamu pindah sekolah ke pesantren atau tetap lanjut disekolahmu yang sekarang?”.

( Aku terkejut, ibu. Dulunya tidak mau anaknya masuk pesantren lagi setelah lulus sekolah menengah, mendadak menawarkan  masuk pesantren ).

 

. “ Bagaimana ya, ibu !”.

 “ Di SMA, sudah punya banyak teman, enak diajak ngobrol, tapi kurang mandiri, sih.”.

 “ menurut ibu, Bagaimana ?”.

“ Bagaimana apanya ?”.

“ Pindah sekolah atau tetap lanjut sampai kelas 3 , Bagaiamana, Ibu ?”

“ Terserah kamu, kalau dipikir – pikir lanjutin saja sudah, sampai lulus!”.

“ Dengan senang hati, Ibu.!”.

 Setelah Lulus  SMA ( Sekolah menengah pertama ).

***

 

Lulus pesantren, aku melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, SMA. Banyak kejadian lucu, haru dan tawa. Tepatnya di SMA Janapria 01. Cewek yang mendominasi jumlah kelas di setiap ruangan kelas, Jumlah mereka sangat banyak. Bagiku telah berada di SMA 01 JANAPRIA. Sangat amat menyenangkan, berbaur dengan berbagai karakter manusia membuatku lebih dewasa.

 Dulu, waktu masih duduk di bangku SMA. Aku ingin sekali bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, meski otakku pas - pas an. Bagiku belajar lebih jauh adalah kebanggan tersendiri yang kumiliki. Masa putih abu – abu, kata orang, masa SMA ialah masa paling indah, masa – masa dimana banyak kejadian aneh yang tak terduga, peralihan dari remaja menuju dewasa.

 Banyak hal yang telah terjadi, masa putih abu – abu. Persahabatan, percintaan, kekonyolan bahkan kenakalan remaja, teramsuk aku. Waktu SMA aku memilih jurusan IPS, terkenal bandel tapi mengasikkan. Satu hal yang tidak dimiliki kelas lain dari kelasku, IPS. Kebandelan yang terkenal oleh guru – guru yang telah mengajar di kelas IPS.

 Meskipun kami terkenal bandel, rasa solidaritas antar sesama sangat erat. Bukan aku saja yang mengatakannya, kelas sebelah, IPA. Dan kami tidak terlalu bodoh – bodoh amat, bermain waktu guru tidak datang mengajar, sering telat masuk kelas, itulah sebab kenapa kelas kami, IPS. Dikenal sebagai kelas ternakal di SMA. Bahkan turun temurun.

 Waktu SMA. Aku banyak belajar dan bertemu orang – orang yang berbeda Bahasa, dipertemukan di satu sekolah, SMA 01 JANAPRIA. ‘ bagaiamana dengan mu ?

 Otakku masih membayangkan akan kenangan masa itu, meski sudah Satu tahun, lulus SMA. dibenakku masih terngiang – ngiang kenangan – kenangan indah. “apakah Cuma aku yang merasakan masa SMA adalah masa paling indah ?”.

 Pesantren, Awal mula masuk pesantren karena kesepakatan aku dan ibu. Sebelum pelepasan santri – santri baru, Ibu berpesan, “jangan main – main belajarnya.” Yang rajin dan jangan lupa doakan ibu, nak.

 Hari pertama, aku duduk di kamar pesantren. setelah tangis bahagia ibu, pagi tadi. Mendadak butiran – butiran bening  beriringan perlahan sambut menyambut membasahi pipiku. Belum cukup satu hari ditinggal ibu, sudah merengek. Soalnya, selama 3 bulan ke depan tidak ada penjengukan untuk anak baru, pesantren. 

 Peraturan pondok tidak boleh mengunjungi anaknya selama 3 bulan. Peraturan khusus kepada wali murid yang anaknya masih siswa baru ponpes. Mereka tidak bisa berpapasan secara langsung dengan anaknya, jika ada hal yang perlu di titipkan atau di ucapkan, harus melalui jalur penitipan pondok pesantren, Pengurus pondok. Kata ustaz, “ Biar melatih mental.”

 Enam bulan kemudian, aku yang masih dilingkungan pesantren yang serba berkecukupan, sederhana. hiduku mulai terarah dan semangat spiritual semakin meningkat, ada bagian menarik yang akan kukatakan, Penyakit kulit. Aku terkena penyakit kulit, seperti anak – anak siswa baru yang merasakan gatalnya kaki dan tangan, Kerap kulihat mereka menggaruk di depanku.

 Memasuki kelas Dua Smp, aku tidak mengidap penyakit gatal, hari demi hari terus kulalui di pesantren, merasa nyaman.  Meskipun, tidak mengidap penyakit kulit lagi, Badanku sedikit mengurus, Aktivitas super ekstra yang  sangat padat, mungkin membuat badanku kurus.

 

SAHABAT

 Bagiku teman ialah tidak ada definisinya, tetapi sahabat adalah yang mendukung saat terjatuh, Dulu, saat di pesantren kerap kali aku dan teman – teman makan bareng, Satu nampan Lima orang, bahkan Tujuh orang, dibilang cukup, tidak. tetapi karena keadaan dan kebersamaan  membuat kita merasa senang dan tidak keberatan, meskipun perut  tidak kenyang.

 Aku tidak bisa berceloteh kepada teman – temanku yang telah mengisi perjalanan yang panjang ini, Aku teringat, duduk di tiang pesantren tempat kami biasa berteduh dan ngobrol, Samping warung yang ada di komplek pesantren. Kerap kali jam 9 Malam. kita keluar untuk berbincang – bincang ditemani dengan secangkir kopi hangat dan jajanan sederhana yang mengganjal perut.

 Temanku yang sampai sekarang masih saling contact, Beni, Yaza dan Pendi. Mereka biasa bersamaku, di pesantren. Beny yang humoris, tapi ngeselin kalau masalah mandi sering mengganggu dengan mengetuk pintu kamar mandi. Yaza, anak rajin yang memang super banget rajinnya tapi receh dan mudah mewek kalau bahas film drama. Dan terakhir, Pendi. si anak  jago tilawah dan murottal yang merdu. Semua kami bisa ngaji dan murottal tapi tidak sebagus pendi, karena dia yang paling bagus diantara kita.

 Sayangnya, walau kami tetap bersama di pesantren kita harus berpisah saat melanjutkan ke  Jenjang yang lebih tinggi, SMA. meskipun tidak hilang contact, suasana dan rasa yang ada, kala itu. Tidak bisa terulang kembali.

 Begitulah cerita singkatku di pesantren, nasibku tidak sebagus Pendi, Beny dan Yaza. Mereka bisa melanjutkan Kuliah setelah lulus SMP dan SMA. Dibiayai oleh kedua orang tuanya. Mereka mengabariku akan melanjutkan kuliah pada saat Hari pengumuman kelulusan, SMA. Lewat Telepon genggam.

 Aku sudah mulai meranjak dewasa, kepercayaan diri mulai hilang, tidak kuliah. “Terimakasih, untuk teman – temanku baik itu pada saat sekolah di SMP dan SMA. Terimakasih, telah mengisi waktu yang begitu panjang”. ( tulisku dalam buku diary )

 Lama tidak ketemu,  Pendi dan yaza. Terkecuali Beny yang tiap semesternya pulang ke kampung halaman karena kita satu kampung. Suatu pagi, hari minggu. aku berjalan – jalan di Car – free day,  di taman kota pusat kota. Aku melihat Pendi, sahabatku. bergandengan dengan cewek yang di genggam erat telapak tangannya.

 Kaki rasanya berat untuk melangkah ke mereka. Rasa gugup menggangu kebersamaan mereka, jika menghampirinya. Bagaimana tidak ? aku yang selalu mengabari lewat chat wa, selalu pendi menjawabnya dengan kata ‘ sibuk ‘.

 Aku tidak menyangka, Pendi telah berubah. Aku seperti bermimpi, Pendi yang selalu ada pada waktu itu, SMP. Kini hanya sebatas pesan whats-app, selalu dijawabnya dg  kata “ sibuk ”. Aku berjalan menuju merka dengan langkah kaki yang berat, rasanya tak mampu kakiku melangkah. Aku coba mulai menyapa, Pendi menoleh kecil dan pura - pura tidak mengenalku, Mereka melanjutkan obrolan – obrolan yang tak bisa kudengar, aku pergi dg hati sedikit rasa kecewa.

  Kejadian tadi, Membuatku Sedih. Aku teringat janji mereka, termasuk Pendi. Beberapa tahun silam sebelum semua berpisah dan menjalani kehidupan masing – masing. Yaza, Beny dan Pendi, Berfirman : “ Jika salah satu diantara kita suatu saat nanti, sukses. jangan saling lupa dan tetap saling sapa”.

 Aku menangis tersendu –sendu, mengingat kejadian yang pernah dilalui bersama teman – temanku, Depan pintu rumah. Sambaran petir dan rintik hujan bagaikan jarum, menambah suasana menjadi makin pilu. Hembusan angin dingin ikut serta mengerumuni. Terkecuali Pendi, yang sudah mulai kuhilangkan dari daftar teman di otakku. Mengingat kejadian di taman kota.


 PERTENGKARAN

 Memasuki umur 17 tahun, Usia labil yang gampang emosian.  seringkali merenung dan duduk sendiri di  pojok kamar. Pojok kamar adalah tempat yang paling pantas untuk menangis, Aku. Menangis karena belakangan hari ini, kedua orangtuaku terlihat berbeda. Nampak sangat jelas raut muka keduanya, menyimpan suatu yang sangat besar.

 Awal mula kecurigaanku, Pada saat itu,  Aku baru saja  lulus dari sekolah 1 bulan yang lalu, SMA.  Suara  berisik yang tak karuan dari kamar tidur mereka. Pantulan sinar matahari nan angin yang masuk lewat sela – sela atap rumah membantu suara mereka terdengar jelas. Cukup lama, perselisihan mereka yg adu argument satu sama lain. Tidak ada yang terdengar mau mengalah, Beberapa menit kemudian terdengar dengan jernih suara tangisan ibu yang tersendu – sendu dengan nafas tak beraturan. Siang itu hawanya sangat panas.

 Keripik pisang yang tadinya aku mau makan dengan santai, alhasil, nafsu ngemilku hilang. Aku mengelamun dan diam tanpa bersuara. Ucapku dalam hati “ apa yang terjadi diantara mereka?”.  kupaksa mulutku  mengunyah keripik dengan muka malas. setelah keripik terakhir yg akan kukunyah, tidak terdengar lagi suara sedikit pun dari kamar mereka.

 Suara keripik pisang terkahir, ngek…, ngokk…, ngak.., mengisi keheningan pertengkaran mereka yang baru saja usai. Aku ingin sekali langsung menuju kamar ibu dan bapak. Tetapi, langkah kakiku terasa berat dan kaku. Kuhela nafas dalam – dalam dan mengeluarkannya kembali, kuulang sampai 3 kali berturut – turut. “bismillah”. ( ucapku )

 Sesampai di depan pintu, Kulihat mereka tidur pulas dengan posisi saling membelakangi, atas Kasur yang biasanya rapi terlihat berantakan dan dinding – dinding kamar terlihat coretan – coretan percikan tinta. Aku terus menatapi mereka yang tidur pulas diatas Kasur empuk berwana merah merona. Aku keluar daru kamar mereka.

 Tanpa basa basi aku pun  tidur di kamar, sambil terheran dengan rasa penasaran apa yang sedang terjadi dengan kedua orang tuaku.

 Setelah pertengkaran ibu dan ayah, kemarin. Aku sangat ingin mengetahui apa penyebabnya. Aku  langsung menanyakan kepada ibu dan bapak, “bapak, ada apa dengan ibu ?”. ( tanyaku ). Aku juga menanyakan pertanyaan yg sama ke ibu. tapi mereka hanya menjawab dg isyarat diam. Mulut mereka tergembok rapat tanpa mengeluarkan kata – kata. Tingkah laku mereka, membuat aku bingung dan semakin penasaran.

 Kuulangi kembali menanyakan pertanyaan yg sama, dua hari setelah pertengkaran itu. Namun, tetap saja jawaban mereka dg isyarat diam. Dua hari belakangan ini otakku penuh dengan isi kecurigaan, ayah dan ibu.  Satu kata pun tak dapat penjelasan dari mereka, aku mulai merasa sedikit tidak nyaman di dalam rumah.

 Aku bingung, entah kepada siapa aku akan curhat jika kedua orang tuaku terus membisu tanpa bicara padaku. Aku benar – benar tidak tahu apa yang akan kulakukan, agar mereka mau ngobrol kembali, termasuk aku. “ apakah orang tuaku terlalu berat memberikan penjelasan untukku ? kenapa ?  Mengapa aku juga harus terluka ?”

 

FRUSTASI

 Sabtu pagi, Suasana cerah yang disinari matahari,  terbit dari ujung timur. posisi badanku yang sedang jongkok. Ema, adik perempuanku  mengahampiri,

“ Kak, itu ibu dan ayah kenapa hari ini kok terlihat beda banget ?”

 “ Beda apanya ?” ( ucapku dengan nada malas )

  Ayah dan ibu, bisanya mereka jam Sembilan pagi duduk di kursi dan ngobrol, hari ini kenapa tidak seperti biasanya ?”

“ Mungkin sibuk”. ( menelan ludah).

“ oh, begitu rupanya”.

“ Iya, Adik cantikku yang suka marah – marah gak jelas”

“ Ah, kakak bisa aja, mana ada adik suka marah tidak jelas, kakak aja tuh, nyebelin “

( Begitulah persaudaraan, sebagai kakak kita harus banyak mengerti tentang adik ).

 Ema, langsung pergi tanpa pamitan. bersama anak – anak seumurnya, untuk bermain. Mencampakkan kakaknya yang sedang sedih dan frustasi atas keadaan yang harus diterima saat ini. Adikku belum mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam keluarga. Sebagai kakak, aku berusaha memberitahunya diwaktu yang tepat. Mendadak, aku menangis. “ aku kuat kok”. (ucapku  dalam hati).

 

 Hari ini matahari sangat panas, adikku terlambat pulang bermain sama teman – temannya.

“ Dek, kamu jam 12 itu harus sudah pulang, bukannya pulang jam 12 : 30 !”.  ( ucapku, ke adik satu – satunya ).

iya, iya, kakak bawel”.

“ Aku  ke dapur dulu dek,  makan, terus sholat”

“ iya, kakak bawel “

 Aku melanjutkan bacaan buku romantis yang terhenti oleh adikku yang terlambat pulang, Dari  bermain. Membaca adalah caraku menghilangkan stress yang berhubungan dengan masalah keluarga, meskipun sulit untuk fokus membaca, setidaknya aku berusaha. Lima  menit saja, kalau membaca buku, apapun itu kecuali buku majalah dewasa atau  buku dewasa pasti  rasa kantuknya cepat banget seakan menjadi alarm tidur yang paling manjur

MENIKAH

 Satu bulan, setelah pertengkaran ayah dan ibu. hari - hariku bergelimang air mata,  raut wajahku terlihat pucat, setiap kali aku berkaca. Aku selalu mendengarkan, mematuhi ibu dan ayah, tapi kali ini nampak berbeda dengan hari – hari sebelumnya. Tepat di depan mataku mereka bertengkar dan langsung talak Tiga.  Pukulan mental yang teramat dalam bagiku, Rasanya hati ini ingin pecah. menahan tangis dan luka yang telah ditunjukkan oleh kedua orang tuaku. Aku masih belum mendapati penjelasan dari mereka sebab – sebab terjadinya pertengkaran.

 Aku kecewa, hari di saat mereka bertengkar, aku sama sekali tidak mematuhi perintah mereka. Otakku tidak berpikir waras. Namun, Mataku tidak kuat menahan air asin yang berkumpul di kelopak mata, walhasil aku menangis. Makan pun tidak nafsu, apalagi mendengar perintah – perintah mereka, terdengar jijik.

 Aku sama sekali tidak di ajak bicara oleh kedua orang tuaku, pada hari itu. mereka saling berdiam  satu sama lain, mulut mereka tertutup rapat layaknya gembok yang kehilangan kuncinya. Ibuku duduk berdiam diri di dapur, ayahku nampak merenung di kamar tamu. Keduanya sama – sama melamun. Aku pun menjadi bingung dan merasa iba diselingi kecewa. Iba terhadap diriku.

 Keesokan hari, setelah ayah mentalak Tiga, Ibu. berbegas mengemas barang – barang, baju, sepatu, pakaian dan lainnya. Untuk dibawa ke kampung halaman, Ibu.  Aku pun membantu ibu tanpa berucap sepatah kata. Dalam hati, aku berkata “ Aku ikut ayah atau ibu?”. ( kebingungan ). Setelah semua barang terkemas dengan rapi, mobil sewa sudah di depan rumah. Aku terlebih dahulu pamit ke ayah tanpa mengucapkan sepatah kata. Kucium telapak tangan ayah yang  kasar,  mukanya sambil menampakan wajah cuek dan terlihat sedang memikirkan sesuatu.

( Aku dan Ibu berangkat menggunakan mobil yang telah di sewa ).

“ Pak, nanti berhenti sebentar di mini market ya !” ( Ucap ibu ).

“ Nggeh, bu…” ( sopir )

“ Ibu, nanti sampai rumah langsung menuju ke rumah nenek ?”. 

“ Iya, nak…”.

 Di tengah perjalanan,  Aku melihat kawanan burung gereja berterbangan bebas,  lewat jendela mobil. Sambil menyantap jajan. Ibu dan adekku tertidur lelap di mobil karena perjalanan cukup jauh menuju lokasi, Rumah nenek. Sesampainya di rumah nenek, Aku, Adek, dan Ibu langsung masuk ke ruangan tamu untuk istirahat, seluruh tubuhku terasa lemas dan capek.

  Satu bulan, Aku di rumah nenek. “ Satu minggu lagi aku akan pulang ke rumah ayah!” ( ucapku kepada ibu ).  Di  rumah nenek, aku  merasa gembira dan banyak teman bermain meskipun aku masih merindukan sosok seorang ayah di sampingku. Rasanya kurang lengkap jika aku menikmati kebahagiaan ini, Tanpa ayah.

 Tiba harinya untuk berangkat pulang ke rumah ayah, Aku berpamitan ke Ibu, Nenek dan Adek. sebagai anak satu – satunya lelaki,  terpaksa harus bolak balik pergi ke rumah ayah dan ibu,   sangat capek. Namun, keadaan  yang memaksaku.

 Sesampainya di rumah ayah, aku mencium bolak balik telapak tangannya, raut mukanya, nampak kasihan dan merasa perihatin melihatku.

“ bagaimana kabar adek mu?”.

“ Alhamdulillah, sehat”.

“ Alhamdulillah”.

( Ayah langsung pergi entah tujuannya kemana ).

  Tiga bulan, di rumah ayah. Aku merasa cukup lama tidak ke rumah nenek. Rasa kangen bersama  ibu dan adek, merindu. Hatiku menjerit, Aku capek harus bolak balik ke rumah nenek dan ayah. Jarak tempuhnya yang lumayan jauh, Lima jam.

***

 Tanpa basa basi ayah berbicara to the point ke aku, suara ayam berkokok memecah keheningan di subuh hari.

“ Aku akan menikah satu minggu lagi!”.

(Satu kata pun tak sanggup terucap, dari mulutku, Dan ayah langsung pergi bekerja ). Ayahku adalah seorang PNS Kantor dan ibuku adalah rumah tangga.

 Pagi ini  hawanya seperti siang hari  panas menyengat, perasaanku. Hatiku semakain  hancur, setelah ayah memberitahuku akan menikah lagi dengan perempuan lain. Aku masih bengong dan masih tidak percaya, Mendadak air mataku mengalir membasahi pipi.

 Aku langsung menelpon ibu di kampung, Mengabarkan bahwa besok aku akan pulang ke rumah nenek, sambil menggenggam erat telepeon genggam yang ada di tanganku. Aku tidak mengabari ayah bahwa akan pergi ke rumah ibu besok pagi, pergi diam – diam seperti ayah menikah tanpa harus berdiskusi denganku. “Begini amat menelan pahitnya kehidupan” ( ucapku dalam hati ).

 Menangis merupakan caraku dalam menerima kondisi yang tak sanggup kuucapkan dengan kata – kata. 

***

“ Aku tidak mau menghadiri pernikahan ayah, teruntuk kedua kalinya. calon ibu tiri pun tidak kuketahui sama sekali ”. ( Aku berbicara di depan kaca kamarku yg terletak di sebelah pojok ruangan, ber cat - kan  hitam pekat dan putih ).

 Aku masih tidak menerima apa yang sedang terjadi, Aku menelpon teman dekat yg jarak dari rumahku hanya 30 menit untuk sampai ke rumahnya. Beny. Aku benar- benar tidak tahu mau berbuat apa. Beny memberiku nasihat, lewat telepon genggam. Aku hanya menjadi pendengar setia atas ucapan – ucapannya, Beny.


MUSIBAH

 Waktu terus berputar sangat cepat, pernikahan ayah sudah selesai Enam bulan yang lalu, Ibu yang masih menjanda tetap setia menemaniku, Tanpa sosok seorang ayah. Ter…ter… ( suara teleponku bergetar diatas meja ). Kuambil dengan rasa malas dan membuka percakapan.

“ Halo, ini siapa ?”.

 “ Ini aku, ibu angkatmu, ayahmu meninggal tadi malam!”.

“ Meninggal ?”. ( Dengan nada tak terkejut )

“ Iya, cepat pulang, untuk makamkan ayahmu”.

“Iya, Besok jam 8 pagi aku menuju ke sana.”

 ( Cobaan apa lagi tuhan ? meskipun aku kecewa terhadap ayah, tetap saja dia ayahku ).

 Sesampai di rumah ayah, kumandikan perlahan – lahan badan yang terasa kaku, kuusap kepalanya dengan hati – hati tanpa meneteskan sebutir air mata. Setelah dimandikan, Nampak wajah ayah mengkerut nan cemberut. “ Entah, ini pertanda apa !?” ( ucapku sambil melihat mayat ayah yang terbungkus kain kafan di ruang tamu ).

 Aku bergegas menuju ke halaman rumah belakang yang sempit, Aku mengeluarkan telepon genggam dari saku celana. Menelpon adik.

“ Dek, halo ?”

“ Iya, ada apa kak ?”

“ Ibu, sehat ?”

“ Alhamdulillah, ibu baik – baik saja, ayah sudah dimakamkan ?”.

“ Belum, nanti sekitar jam Empat sore , kamu jaga ibu baik – baik iya, nanti setelah 7 hari aku balik ke rumah!”.

“ Iya, kakak juga sehat – sehat selalu!”.

( Ibu dan adekku ema tidak bisa mengikuti pemakaman ayah, ibuku yang sakit panas dan demam tinggi harus dijaga oleh adikku, terlebih nenekku yang sudah tua).

 Angka jarum jam sudah menunjukkan jam Empat sore, pemakaman akan segera dilaksanakan. Aku mengangkat geranda ayah dan warga lainnya, Ikut serta.  jaraknya dari masjid ke pemakaman sekitar 10 menit. Setelah jenazah tepat di pintu pemakaman aku berdoa : “ Semoga tuhan, mengampuniku dan memberi pengampunanan kepada penghuni kubur ini “.

 Setelah semua pengantar jenazah duduk dan pembawa keranda mayat sudah di depan liang kubur, ayah dimasukkan ke lubang yang sangat  kecil dan teramat sempit, terbungkus  kain kapan putih. “ Aku melihat ayah dimakamkan untuk terakhir kalinya “.

 

Tuhan, Aku siap bahagia !!!

 Setelah kepergian ayah dari dunia untuk selama – lamanya, hidupku semakin berat. Aku ingat kata seseorang pernah berkata (“ semakin banyak tekanan dalam hidup justru membuat kita semakin banyak mengerti apa arti kehidupan”).  “Aku siap menerima ini” (  Teriakan yang sangat keras di depan pintu rumah ).

 Satu bulan setelah kepergian ayah, aku sudah bisa mandiri dan mencari uang sendiri, tidak membebankan ibuku lagi. Meskipun, ibu selalu bilang “ sudah, kamu jangan terlalu capek bekerja”.  ( Aku tidak kuliah, tetapi ibu tetap mendukungku untuk belajar di les - les bahasa ). Meski begitu, Aku tetap tidak mematuhi ibu dan tidak mengikuti les Bahasa inggris, aku memilih untuk mencari uang supaya bisa membiayai hidupku sendiri.

 Aku mengalami kehidupan yang sekarang tak pernah terprediksi. Senang, semangat, bahagia, kecewa, sedih, menjadi perasaan yang paling melekat di hati. Seakan menjadi sahabat yang sulit dimengerti dalam tiap detiknya. Rasanya sangat berat, Terkadang rasa putus asa hinggap di dadaku.

 Sebelum ayah meninggal, Aku terlalu berada di zona nyaman, uang jajan dari ayah. Ketika ayah telah tiada terpaksa harus mencukupi kebutuhan hidup dari kerja keras. Meskipun awalnya aku sangat kesulitan. Aku siap untuk bahagia dan menjalani apa yang ada di depan mata.

  Aku teringat kata mutiara seseorang yang terdengar sekilas waktu jalan – jalan di halaman sekolah, SMP. “ terkadang, ketika kamu kecewa itu membuatmu lebih kuat”. Kuseruput kopi hitam yang terletak di atas meja kamarku. Kamar yang diterangi satu bola lampu pijar menjadi saksi bisu. Suasana kamar yang sunyi membuat renunganku saat itu semakin terasa.

 Aku membuka pintu kamar dan keluar menuju dapur untuk sarapan pagi, makanan sudah terhidang, aku menyantapnya dengan lahap. Kemudian, aku langsung pergi bekerja dan salim ke ibu. “ Ibu, aku berangkat kerja dulu iya”. Wassalamualaikum.

 Stand minuman, Ini adalah pekerjaan pertamaku sebagai penjual minuman, Sudah  Lima bulan  aku bekerja di sini. Gajiku cukup untuk membiaya hidupku sendiri namun tidak untuk membiayai adikku. Saat sedang menunggu konsumen, aku berencana untuk resign dari pekerjaan ini, karena  aku harus pergi untuk mengubah nasib, mencari pekerjaan yang lebih besar gajinya.

 Aku ingin resign dari tempat kerjaku yang sekarang, bukan karena bossnya jelek. akan tetapi, aku berencana resign  karena butuh masa depan yang lebih cerah, mataku penuh harapan menatap masa depan yang cerah. Dibenakku, berprasangka ditempat baru akan jauh lebih baik, ditempat baru nanti aku harus kembali berjuang untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, apapun itu adalah harapan untuk lebih baik.

 Setelah memikiran dengan matang, Aku akan pindah Tempat kerja, Satu hari setelah pertimbangan pribadi. Aku langsung menghubungi temanku yang akan pergi bekerja di luar daerah, Beny.

 

  Broo...di tempat kerjamu masih membutuhkan orang kan,  kira – kira, kalau semisalnya ada      kapan rencana mau berangkat kerja ke luar daerah ?”.

“ Insyaallah, Satu minggu lagi broo… kalau mau ikut nanti saya kenalkan dulu ke boss saya, kebetulan orangnya adalah asli masyarakat daerah saba.

“ Oke, bro…aku urus dulu ya ( berpamitan dengan boss tempat aku kerja ).

***

(Aku langsung menemui Boss Stand Minuman ).

“ Boss, mohon maaf sebelumnya, aku ingin keluar mencari pengalaman baru dalam pekerjaan, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaan ini, mohon bantuannya boss !?”

“ Kalau boleh tau, rencananya kemana ?”.

“ Rencananya ke bali, boss. kebetulan sudah ada teman disana dan lagi membutuhkan 2 orang untuk bekerja di tempatnya dan insyallah 6 hari lagi  akan berangkat”.

“ secepat itu ?”.

“ Iya, boss”.

“ kalau ada salah, mohon maaf, dan atas kelalaian, kecerobohan selama kerja disini boss !”.

“ Oh, tidak apa – apa”.

“ kalau begitu, saya pamit boss”.

“ Oh, silahkan, semoga sukses”.

( Bossku orang yang simple dalam menjawab pertanyaan dan terksesan cuek namun sifatnya sangat baik dan sering kali membantuku ).

Related Posts

0 Response to "PERJUANGAN EMI"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel